Senin, 23 September 2013

Sistem Pengupahan

A.  Pendahuluan
Upah adalah segala macam pembayaran yang timbul dari kontrak kerja, terlepas dari jenis pekerjaan dan denominasinya. Upah menunjukkan penghasilan yang diterima oleh pekerja sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukannya. Upah dapat diberikan baik dalam bentuk tunai atau natura, atau dalam bentuk tunai natura. Sistem pengupahan merupakan kerangka bagaimana upah diatur dan ditetapkan. Sistem pengupahan di Indonesia pada umumnya didasarkan kepada tingkat fungsi upah, yaitu menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya, mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang dan menyediakan insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas kerja
       Penghasilan yang di terima karyawan digolongkan ke dalam empat bentuk yaitu upah atau gaji, tunjangan dalam bentuk natura (seperti beras, gula dan pakaian), fringe benefits (dalam bentuk dana yang disisihkan pengusaha untuk pensiun, asuransi kesehatan, kendaraan dinas, makan siang) dan kondisi lingkungan kerja. Sistem penggajian di Indonesia pada umumnya mempergunakan gaji pokok yang didasarkan pada kepangkatan dan masa kerja. Pangkat seseorang umumnya didasarkan pada tingkat pendidikan dan pengalaman kerja. Dengan kata lain, penentuan gaji pokok pada umumnya didasarkan pada prinsip-prinsip teori human capital, yaitu bahwa upah atau gaji seseorang diberikan sebanding dengan tingkat pendidikan dan latihan yang dicapainya. Di samping gaji pokok, pekerja menerima juga berbagai macam tunjangan, masing-masing sebagai persentase dari gaji pokok atau jumlah tertentu seperti tunjangan jabatan, tunjangan keluarga dan lain-lain. Jumlah gaji dan tunjangan-tunjangan tersebut dinamakan gaji kotor. Gaji bersih yang diterima adalah gaji kotor yang dikurangi potongan-potongan seperti potongan untuk dana pensiun, asuransi kesehatan dan lain sebagainya. Jumlah gaji bersih ini disebut dengan take home pay.

B.   Perbedaan Tingkat Upah
            Perbedaan tingkat upah terletak dari satu sektor ke sektor industri lainnya maupun antar daerah. Perbedaan ini pada dasarnya disebabkan oleh satu atau lebih dari sembilan alasan dibawah ini. Perbedaan tingkat upah tersebut terjadi pertama karena pada dasarnya pasar kerja itu sendiri, terdiri dari beberapa pasar kerja yang berbeda dan terpisah satu sama lain. Disatu pihak, pekerjaan yang berbeda memerlukan tingkat pendidikan dan ketrampilan yang berbeda. Produktivitas kerja seeorang berbeda menurut pendidikan dan latihan yang diperolehnya. Perbedaan tingkat upah dapat terjadi karena perbedaan tingkat pendidikan, latihan dan pengalaman.
            Kedua, tingkat upah di tiap perusahaan berbeda menurut persentase biaya pekerja terhadap seluruh biaya produksi. Semakin kecil proporsi biaya pekerja terhadap biaya keseluruhan, semakin tinggi tingkat upah. Misalnya pada perusahaan-perusahaan yang padat modal seperti perusahaan minyak, pertambangan, industri berat.
Ketiga, perbedaan tingkat upah antara beberapa perusahaan dapat pula terjadi menurut perbedaan proporsi keuntungan perusahaan terhadap penjualannya. Semakin besar proporsi keuntungan terhadap penjualan dan semakin besar jumlah absolute keuntungan, semakin tinggi nilai upah.
Keempat, perbedaan tingkat upah antar perusahaan dapat berbeda karena perbedaan peranan pengusaha yang bersangkutan dalam menentukan harga. Perusahaan-perusahaan monopoli dapat menaikkan harga tanpa takut akan kompetisi. Pengusaha-pengusaha oligopoli lebih mudah untuk bersama-sama berunding menentukan harga, sehingga tidak perlu berkompetisi satu sama lain. Dalam perusahaan-perusahaan tersebut lebih mudah untuk menimpakan kenaikan upah kepada harga jual barang.
Kelima, tingkat upah dapat berbeda menurut besar kecilnya perusahaan. Perusahaan yang besar dapat memperoleh kemanfaatan “economic of scale” dan oleh sebab itu dapat menurunkan harga, sehingga mendominasi pasar. Dengan demikian perusahaan yang besar cenderung lebih mampu memberikan tingkat upah yang tingggi daripada perusahaan kecil.
Keenam, tingkat upah dapat berbeda menurut tingkat efisiensi dan manajemen perusahaan. Semakin efektif manajemen perusahaan, semakin efisien cara-cara penggunaan faktor produksi, dan semakin besar upah yang dapat dibayarkan kepada para pekerja.
Ketujuh, perbedaan kemampuan atau kekuatan serikat pekerja dapat mengakibatkan perbedaan tingkat upah. Serikat pekerja yang kuat dalam arti mengemukakan alasan-alasan yang wajar biasanya cukup berhasil dalam mengusahakan kenaikan upah.
Kedelapan, tingkat upah dapat pula berbeda karena faktor kelangkaan. Semakin langka tenaga kerja dengan ketrampilan tertentu, semakin tinggi upah yang ditawarkan pengusaha.
Kesembilan, tingkat upah dapat berbeda sehubungan dengan besar kecilnya resiko atau kemungkinan mendapat kecelakaan di lingkungan pekerjaan. Semakin tinggi mendapat resiko, semakin tinggi tingkat upah. Dan yang terakhir, perbedaan tingkat upah dapat terjadi karena pemerintah campur tangan seperti dalam menentukan upah minimum yang berbeda.

C. Masalah Pengupahan
Masalah pertama yang timbul dalam bidang pengupahan dan karyawan pada umumnya pengertian dan kepentingan yang berbeda mengenai upah. Bagi pengusaha, upah dapat dipandang menjadi beban karena semakin besar upah yang dibayarkan pada pekerja, semakin kecil proporsi keuntungan bagi pengusaha. Segala sesuatu yang dikeluarkan oleh pengusaha sehubungan dengan mempekerjakan seseorang dipandang sebagai komponen upah. Dilain pihak, karyawan dan keluarganya biasanya menganggap upah hanya sebagai apa yang diterimanya dalam bentuk uang (take home pay). Kenyataan menunjukkan bahwa hanya sedikit pengusaha yang secara sadar dan sukarela berusaha meningkatkan penghidupan karyawannya. Dilain pihak, karyawan melalui Serikat pekerja dengan mengundang campur tangan pemerintah selalu menuntut kenaikan upah dan perbaikan fringe benefit. Jika tuntunan seperti itu tidak disertai dengan peningkatan produktivitas kerja akan mendorong pengusaha akan mengurangi penggunaan tenaga kerja dengan menurunkan produksi, menggunakan teknologi yang lebih padat modal atau mendorong harga jual barang yang kemudian mendorong inflasi.
Masalah kedua di bidang pengupahan berhubungan dengan keanekaragaman sistem pengupahan. Proporsi sebagian upah dalam bentuk natura dan fringe benefit cukup besar, dan besarnya tidak seragam antara perusahaan-perusahaan. Sehingga kesulitan sering diketemukan dalam perumusan kebijakan nasional, misalnya dalam hal menentukan pajak pendapatan, upah minimum, upah lembur dan lain-lain.
Masalah ketiga yang dihadapi dalam bidang pengupahan adalah rendahnya tingkat upah atau pendapatan masyarakat. Rendahnya tingkat upah ini disebabkan karena tingkat kemampuan manajemen yang rendah sehingga menimbulkan berbagai macam pemborosan dana, sumber-sumber dan waktu. Selain itu, penyebab rendahnya tingkat upah karena rendahnya produktivitas kerja. Produktivitas kerja karyawan rendah, sehingga pengusaha memberikan imbalan dalam bentuk yang rendah juga.

D. Karakteristisk Upah
D.I.  Upah per satuan (piece rates) dan upah per jam (time rates)
Saudara mahasiswa, kita akan membahas karakteristik kontrak kerja antara pekerja dan perusahaan berupa penetapan upah per satuan (piece rates) dan upah per jam (time rates). Masalah yang muncul pada kontrak kerja kerja akan mempengaruhi produktivitas tenaga kerja dan tingkat keuntungan perusahaan. Jenis kontrak kerja yang dipilih sangat penting karena pemberi kerja sering tidak tahu produktivitas pekerja yang sebenarnya, sementara pekerja menginginkan upah yang besar dengan kerja yang sekecil mungkin.
Sistem upah per satuan mengkompensasi pekerja berdasarkan pada output yang dihasilkan oleh pekerja. Sebagai contoh pekerja garmen dibayarkan berdasarkan pada seberapa banyak jumlah celana yang dihasilkan, para tenaga penjual dibayar sesuai dengan besarnya komisi tertentu dari volume penjualannya. Sedangkan kompensasi upah pekerja per jam sangat bergantung kepada jumlah jam kerja yang dialokasikan pekerja dalam pekerjaannya dan tidak berhubungan sama sekali dengan jumlah output yang dihasilkan pekerja. Perusahaan yang memiliki biaya pengawasan yang tinggi jika memberikan tingkat upah per satuan yang kecil kepada pekerja maka hanya sedikit pekerja yang mau menerima upah yang demikian sedikitnya (low take home salaries). Sehingga perusahaan yang menghadapi biaya pengawasan yang tinggi lebih memilih upah per jam (berdasarkan waktu), sementara perusahaan yang menghadapi biaya pengawasan yang rendah memilih tingkat upah per satuan. Oleh karenanya, upah per satuan sering dipakai untuk membayar pekerja yang outputnya dapat diamati dengan mudah misalkan jumlah celana yang diproduksi, volume penjualan pada periode yang lalu, semetara upah per jam ditawarkan bagi para pekerja yang outputnya sulit untuk diukur seperti upah bagi para professor di Universitas atau para pekerja pada tim produksi software.


D.II. Keuntungan dan keburukan dari penerapan sistem pembayaran per satuan (piece rate)
Pembayaran per satuan mampu menarik pekerja dengan kemampuan besar, sistem pembayaran langsung berhubungan dengan kinerja, meminimalkan hal-hal yang bersifat diskriminasi dan nepotisme dan meningkatkan produktivitas perusahaan. Disamping keuntungan, terdapat keburukan dari system kompensasi piece rate yaitu ada kemungkinan diantara anggota tim di lini produksi akan mengalami free rider dari kerja yang dihasilkan anggota yang lain, jika produktivitas dalam satu lini produksi sangat bergantung produktivitas pada lini produksi yang lain yang dihitung berdasarkan pada output tim. Selain itu sistem penggajian dengan piece rate, pekerja lebih suka mengabaikan kualitas ketimbang kuantitas. Banyak pekerja yang tidak menyukai system piece rate karena upah mereka sangat fluktuatif sepanjang waktu. Sebagai contoh, penerimaan harian pemetik buah stroberi sangat bergantung pada kondisi cuaca. Yang terakhir, pekerja pada perusahaan yang menggaji dengan piece rate mengalami kegelisahan jika terjadi ”ratchet effect” Misalkan ada pekerja yang menghasilkan output lebih besar dibandingkan dengan perkiraan perusahaan. Manajer perusahaan mungkin akan mengira tingkat output yang tinggi yang dihasilkan pekerja merupakan pekerjaan yang tidak terlalu sulit untuk dilakukan dan perusahaan merasa telah membayar pekerja terlalu mahal. Pada periode selanjutnya, tingkat upah piece rate direndahkan dan pekerja harus bekerja lebih  keras lagi untuk mengkompensasinya lagi.

E. Kebijakan Penentuan Upah
Kriteria yang paling umum digunakan dalam menentukan tingkat upah yaitu berdasarkan ukuran kesetaraan berupa pembayaran yang sama bagi pekerjaan yang sama, ukuran kebutuhan berupa biaya hidup, upah untuk hidup dan daya beli, kemudian ukuran kontribusi berupa kemampuan membayar perusahaan dan produktivitas yang dihasilkan oleh tenaga kerja. Saat ini yang berlaku adalah Upah Minimum Regional (UMR) yang ditetapkan di masing – masing daerah.

E.I.  Upah Minimum
Kebijakan penetapan upah minimum dalam kerangka perlindungan upah dewasa ini masih menemui banyak kendala sebagai akibat belum terwujudnya satu keseragaman upah, baik secara regional/wilayah-propinsi atau kabupaten/kota, dan sektor wilayah propinsi atau kabupaten/kota, maupun secara nasional. Dalam menetapkan kebijakan pengupahan memang perlu diupayakan secara sistematis, baik ditinjau dari segi makro maupun segi mikro seirama dengan upaya pembangunan ketenagakerjaan, utamanya perluasan kesempatan kerja, peningkatan produksi, peningkatan taraf hidup pekerja sesuai dengan kebutuhan hidup minimalnya.
Dalam penetapan upah minimum ini masih terjadi perbedaan-perbedaaan yang didasarkan pada tingkat kemampuan, sifat dan jenis pekerjaan di masing-masing perusahaan yang kondisinya berbeda-beda, masing-masing wilayah/daerah yang tidak sama. Oleh karena itu, upah minimum ditetapkan berdasarkan wilayah propinsi atau kabupaten/kota dan sektor pada wilayah propinsi atau kabupaten/kota. Kebijakan ini selangkah lebih maju dari sebelumnya yang ditetapkan berdasarkan sub-sektoral, sektoral, sub-regional, dan regional.
Dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah ditetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak, dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi meliputi : a. upah minimum berdasarkan wilayah propinsi atau kabupaten/kota; b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah propinsi atau kabupaten/kota.
Upah minimum tersebut ditetapkan oleh Gubernur untuk wilayah propinsi, dan oleh Bupati/Walikota untuk wilayah Kabupaten/Kota, dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Propinsi atau Bupati/Walikota. Dalam hal ini pengusaha dilarang membayar upah pekerja lebih rendah dari upah minimum yang telah ditetapkan untuk masing-masing wilayah propinsi dan/atau kabupaten/kota. Bagi pengusaha yang karena sesuatu hal tidak atau belum mampu menbayar upah minimum yang telah ditetapkan dapat dilakukan penangguhan selama batas jangka waktu tertentu. Dalam hal upah minimum ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja, tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila kesepakatan dimaksud lebih rendah dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penetapan upah tersebut tidak boleh ada diskriminasi antara pekerja laki-laki dan wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya sebagaimana dimaksud dalam Konvensi 100 yang diratifikasi berdasarkan Undang-Undang No. 80 tahun 1957 (Lembaran Negara No.171 tahun 1957).

E.I.a.  Keseragaman Pengupahan
Dengan adanya sistem penetapan upah minimum berdasarkan wilayah propinsi atau wilayah kabupaten/kota, dan sector pada wilayah propinsi atau kabupaten/kota, berarti masih belum ada keseragaman upah disemua perusahaan dan wilayah/daerah.
Hal ini dapat dipahami mengingat kondisi dan sifat perusahaan disetiap sector wilayah/daerah tidak sama dan belum bisa disamakan. Demikian juga kebutuhan hidup minimum seseorang pekerja sangat tergantung pada situasi dan kondisi wilayah/daerah dimana perusahaan tempat bekerja itu berada. Belum ada keseragaman upah tersebut justru masih didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan demi kelangsungan hidup perusahaan dan pekerja yang bersangkutan. Apabila bila mengingat strategi kebutuhan pokok terhadap pekerja yang berada pada sector informal didaerah perkotaan yang pada umumnya masih mempunyai penghasilan dibawah suatu taraf hidup tertentu.

E.I.b. Kuantitas Tingkat Upah
Seperti diketahui sistem pengupahan yang bersifat beragam menyebabkan kuantitas tingkat upah khususnya dalam penetapan upah minimum terjadi perbedaan-perbedaan. Kebijakan sektoral dan regional didasarkan pada pemilihan wilayah/daerah-daerah berikut sektor-sektor ekonominya yang potensial serta dengan mempertimbangkan beberapa aspek yang mempengaruhi antara lain :
Aspek kondisi perusahaan.
Melalui aspek ini dapat diperoleh kriteria-kriteria perusahaan kecil, perusahaan menengah, dan perusahaan besar baik didalam satu sektor atau wilayah/daerah maupun berlainan sektor atau wilayah/daerah. Kriteria-kriteria tersebut membawa konsekuensi pada kemampuan perusahaan yang tidak sama dalam memberi upah pekerja. Hal ini sudah tentu tergantung pada besarnya modal dan kegiatan usaha masing-masing perusahaan dan tingkat produksi, serta produktivitas tenaga kerjanya.

Aspek keterampilan tenaga kerja.
Peningkatan produksi dan prodiktivitas kerja, sangat ditentukan oleh kemampuan personil perusahaan, baik ditingkat bawah yakni tenaga kerja terampil, maupun ditingkat atas yakni pimpinan manajemen yang mampu menjadi penggerak tenaga kerja (pekerja) yang dipimpinnya untuk bekerja secara produktif.
Tenaga kerja merupakan modal dasar bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi perusahaan, apabila tenaga kerja tersebut sebagai sumber daya ekonomi dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien. Tingkat kemampuan tenaga kerja dan pimpinan manajemen dalam suatu perusahaan, memberikan peranan yang menentukan untuk merubah kondisi perusahaan tersebut menjadi lebih baik dan maju. Kondisi seperti ini memberikan dampak positif bagi upaya peningkatan kesejahteraan tenaga kerja (pekerja) melalui pemberian upah yang lebih tinggi, serta jaminan-jaminan sosial lainnya.

Aspek standard hidup.
 Peningkatan tingkat upah pekerja selain dipengaruhi oleh kondisi perusahaan dan keterampilan tenaga kerjanya, juga dipengaruhi oleh standard hidup pada suatu wilayah atau daerah dimana perusahaan itu berada. Standard hidup di daerah perkotaan biasanya lebih tinggi dibanding didaerah pedesaan.
Peningkatan tingkat upah ini selain didasarkan pada kebutuhan pokok (basic needs) tenaga kerja yang bersangkutan sesuai tingkat perkembangan ekonomi dan sosial di wilayah/daerah tertentu. Kebutuhan pokok tersebut tidak hanya terbatas pada persoalan sandang, pangan dan papan, akan tetapi meliputi juga pendidikan, kesehatan, jaminan sosial dan lain sebagainya.

Aspek jenis pekerjaan.
Perbedaan pada jenis pekerjaan ini mengakibatkan terjadinya perbedaan tingkat upah, baik pada suatu sektor yang sama, maupun pada sektor yang berlainan. Tingkat upah pada sektor industri, tidak sama dengan tingkat upah di sektor pertanian, tidak sama pula dengan sektor perhotelan, dan sebagainya. Tingkat upah pada industri rokok atau pemintalan benang misalnya, tidak sama dengan tingkat upah pada industri mesin, dan sebagainya. Aspek jenis pekerjaan mempunyai arti yang khusus, karena diperolehnya pekerjaan, dapat membantu tercapainya kebutuhan pokok bagi pekerja yang bersangkutan. Meningkatnya taraf jenis pekerjaan dapat membantu peningkatan taraf hidup sebagai akibat meningkatnya upah yang diterima pekerja dari pekerjaannya itu.

E.II.  Penetapan upah dan tunjangan lainnya melalui perundingan kolektif
            Perundingan kolektif diperlukan perusahaan dalam negosiasi penetapan upah yang melibatkan serikat pekerja sebagai mitra sejajar dengan pemberi kerja.  Peningkatan upah yang dihasilkan melalui perundingan antara pekerja dan pemberi kerja cenderung berhasil meningkatkan produktivitas.

Sumber : http://www.ut.ac.id/

Tidak ada komentar: